Wednesday, November 27, 2013

this is my new world...oriflame

yeeey...akhirnya punya kesempatan nulis setelah berurusan dengan claim dan ICD

okay...
this is my new world...
believe it or not sekarang saya nyemplung serius disini. serius? iya...
terus yang dulu gag serius, serius sih tapi gag tau mau ngapain. ngeles yak...

okay mulai gabung lagi sejak MEI 2013 dimana diriku sudah resmi ter terminate dari id sebelumnya.
inget lho disini gag boleh double account apalagi nyuri anggota member lain. ada sanksinya.
sanksi yg bs kena semuanya even itu kamu sudah ada di posisi enak dengan gaji 5-7jt
sayang kan ya.

jadi awal saya gabung lagi karen galau sesuatu, ihhh putri bisa galau ya... iya lah manusia gitu.
galaunya anak dua , pergi pagi pulang malem, kebutuhan meningkat, masih ada tanggungan yang belum bisa dilepaskan. ah..berjuta pikiran pokoknya dikepala.
teringat seorang teman cie... cuma kenalan doank padahal di FB ketemuan juga belum, pernah bantuin saat aku di bawah, dan tau banget track recordnya gimana.

terus kenapa milih kok gabung dijaringannya?
to be honest saya dl gag tau kalau leader-leader diatasnya adalah orang-orang yang sering banget nangkring buat dapet rewardnya oriflame hehehehe....
saya hanya melihat recordnya berapa orang yg berhasil dia bimbing, gimana dia meng- encourage downlinenya dll dah.

intinya terus join, belajar lagi yg pernah dipelajari sebelumnya. plus banyak pelajaran baru. dalam hal step by stepnya. dan di awal bulan juni saya merasakan hasilnya.
JENG JENG....
kecil ya cuma 47rb sekian , its okay karena masih di tangga pertama bisnis. dan ini yang membuat saya semakin yakin dan perlu digaris bawahi ya kalau kami yang dapat bonus juga bayar pajak.
mungkin ada yang nyinyir.. "mau ya kerja cuma dapet segitu doang." "awas lho ditipu" dan banyak lagi.
ingat pencuri mimpi itu selalu ada.
kita gagal kalau kita berhenti berusaha. Thomas Alpha Edison juga mungkin gag akan jadi penemu bohlam kalau di penelitian ke 999 kali dia menyerah.
dan saya tidak mau menyerah.
dan hasil yg saya dapat di bulan oktober adalah...
http://www.dBCN-KantorKedua.com/?id=putriholiday
transferan bonus langsung dari oriflame.
alhamdulilah banget... disamping gaji sendiri juga dapat tambahan dari oriflame. kalau saya berhenti dan mendengarkan kata orang yg negatif mungkin saya tdk dapat bonus sekian, dan tdk ada di tangga yang sekarang.

kalau ada yang bilang kenapa sih mau ikutan , sampe kerja melebihi jam kerja kantor?udah gitu hasilnya gag tetap
yah mbak kantor emang jelas gajinya berapa...tapi saya gag mau terus-terusan dengan gaji segitu tapi pergi pagi pulang malam. saya mau masa depan untuk anak saya, saya mau dengan gaji yg sama saya dirumah dan main bersama mereka. saya mau mewujudkan mimpi orang-orang yang masih ada bersama saya.
terutama ibu yang tinggal satu-satunya orang tua yang saya miliki.

kalau mau jalanin bisnis ini yang harus diingat adalah :
FUN, MAKE MONEY and FULL FILLED DREAM
kalau funnya gag dapet berarti ada yang salah waktu ngejalaninnya, ngobrol sama upline supaya bisa kasi solusinya.
JANGAN MENYERAH dan JANGAN MENGELUH, kata menyerah dan kata-kata negatif lainnya membuat kita jadi gampang putus asa. ingat kesuksesanmu bukan karena uplinemu tapi target itu tergantung dirimu sendiri mau kemana.
KELUARLAH dari ZONA NYAMAN, gag bisa ngomong ya belajar ngomong (masa sih gag bisa ngomong) gag bisa jualan dih katalog ok banget pelajarin deh.

dah ah...
mau kita pulang....yang mau ikutan atau penasaran boleh banget klik disini
GO SM!!


Tuesday, June 4, 2013

Review Breastpump



Kali ini mau buat semacam review tentang BP alias breast pump walaupun baru beberapa yg di coba.

Avent Manual



    • Harga 600.000 - 650.000 
    • ada keluaran distributor indonesia (dengan stiker) ada yg US (tanpa stiker)
    • suctionnya mantap, gag bikin sakit PD. bantalan silikon juga membuat nyaman.
      untuk LDR gampang dapetnya.kalau ada yg bilang avent ribet dan banyak printilannya itu mah yg belum biasa aja, kalau  sudah biasa gampang kok. IMHO sebenarnya gag banyak juga sih.
      botol tampung asi wideneck jadi gampang kalau membersihkan.kalau mau beli langsung juga ada jadi gag harus pindah2in setelah pumping. isi 4 x 125 harganya 160.000,-


    Mendela Harmony  

    ini BP yg pertama kali di coba waktu baby rain lahir, 
    • harga Rp 485.000,-
    • printilan lebih banyak ini sih dari avent, yg agak riskan bersihkannya itu bagian diagfragmanya riskan sobek.suctionnya nyaman tapi agak ribet karena bagian untuk dapetin LDR dengan PUMP ekspresinya beda. 
    • kalau yg LDR harus tekan tuas pendek yg ada gambar tetesan airnya cepat2.kalau sudah dapat LDR kemudian pindah ke bagian tuas yg panjang.botol tampungnya kaca, jelas recommended, tapi untuk perjalanan dengan kendaraan umum dan jauh lebih baik di ganti botol simpan yg plastik (BPAS free)
    • Spare part relatif murah dan mudah dicari



    Unimom Mezzo



    ini bisa di bilang avent wannabe atau KWnya avent :D
    • harga 250.000,-
    • hampir sama ada bagian bantalan silikonnya untuk memijat PD, tapi kurang nyaman karena ASI suka merembes diantara corong dan silikonnya.
    • Suction mantab, tuas nyaman gag bikin pegel gag gampang slip juga. 
    • gampang DPT LDRnya, spare part agak susah di dapat katanya.o iya plusnya BP ini adalah dia bisa digunakan untuk botol yg wideneck seperti botol milik avent.
      jadi kalau bawa botol simpan asi avent gag masalah dan gag ribet di pindah ke botol lain



    Pigeon Electric Portable 


    agak sedih memikirkan BP yg ini karena bagian motor dan kabelnya hilang, kemungkinan ada yg berniat mencopet tp yg di dapat adalah tas kecil yg isinya motor + kabel BP. masih berharap ketemu sih (semoga... amin...)   
    • harga 750.000,-
    • pertamanya bingung waktu pakainya, katanya elektrik ? kok harus mencet-mencet, terus dijelaskan ternyata BP ini memang semi elektrik,lebih mudah dapat LDR karena tuasnya yg ringanbody botolnya kurang nyaman karena besar (wide neck) dan botol juga menggembung mirip buah pear. 
    • kalau yg sudah biasa dengan mendela atau avent suction BP ini kurang terasa.



    masih pingin nyoba yg elektrik sih semoga nanti ada kesempatan lebih baik.ya selain biar cepet waktu pumpingnya tanggannya jg gag pegel :P   

    tunggu review selanjutnya ya ( ^ __ ^ ) 

    Sunday, May 12, 2013

    Fiuh... baru kali ini ketar ketir dengan si tahi lalat ditelinga. iya gimana tidak.
    sudah 2 hari ini mulai terasa sakit dan nyeri setelah konsul dan googling yg ketemu adalah kemungkinan melanoma alias kanker kulit o_O
    ok, kita bahas dulu tentang tahi lalat.

    Tahi Lalat
    Tahi lalat atau yang bahasa medisnya nevus pigmentosus  adalah tumor jinak pada kulit yang paling umum dijumpai pada manusia. Kebanyakan tahi lalat adalah bawaan lahir, tetapi ada juga yang baru muncul setelah lahir. Sebagian besar tahi lalat muncul selama 20 tahun pertama kehidupan, meskipun ada juga yang terus berkembang hingga usia 40-an. Namun, biasanya sebagian tahi lalat menghilang seiring bertambahnya usia.

    Ciri khas tumor jinak ini adalah warnanya yang gelap, sebagian mempunyai ukuran yang menetap, namun sebagian lain terus membesar sehingga mengkhawatirkan si pemiliknya. Umumnya perkembangan ukuran ini dipicu oleh adanya kontak dengan sinar matahari.
    Tahi lalat timbul akibat terkena sinar matahari secara terbuka sehingga berdampak pada meningkatnya pigmen melanin menjadi berlebih. Orang kulit putih misalnya, lebih rentan terkena melanoma bila dibandingkan orang Asia atau Afrika. Demikian pula paparan ultra violet matahari yang bersifat kronik kumulatif akan meningkatkan risiko terjadinya masalah ini.

    Tanda Awal Kanker Kulit
    Tahi lalat secara umum tidak berbahaya, dan biasanya hanya menimbulkan keluhan kosmetis, meski dapat pula berubah menjadi kanker  Tahi lalat yang datar umumnya bersifat jinak, tapi bisa juga berubah menjadi ganas. Untuk tahi lalat yang berupa benjolan, atau tumor dalam bahasa kedokteran, bisa digolongkan menjadi 3 jenis, yaitu jinak, bakal kanker (pra kanker), dan ganas. Tahi lalat dapat berubah semakin besar, terasa gatal, dan akhirnya menjadi kanker kulit yang sangat ganas.

    Tanda-tanda tahi lalat yang berubah menjadi ganas (melanoma maligna), yaitu bila muncul rasa gatal atau nyeri, perubahan warna menjadi lebih gelap, ukurannya membesar, melebar tidak teratur, permukaan menjadi tidak rata, sering diganggu (dikorek atau digaruk), gampang berdarah, menjadi luka dan koreng yang tidak sembuh-sembuh.

    Tahi lalat yang masuk dalam kategori berbahaya yaitu jika ukurannya terus membesar hingga memiliki diameter lebih dari 6 milimeter. Masalah tahi lalat bukan hanya masalah di permukaan kulit, tapi masalah di dalam lapisan bawah kulit, sehingga jarang sekali tahi lalat dapat ditangani dengan pengobatan tradisional. Tahi lalat yang berisiko kanker harus ditangani segera sebelum mengalami metastatis atau penyebaran ke bagian tubuh lainnya.

    Itulah mengapa sangat penting untuk mendeteksi  perubahan tahi lalat menjadi melanoma sejak awal, ketika angka kesembuhan dengan operasi hampir 100%. Melanoma dapat muncul di manapun pada tubuh, namun paling sering ditemukan di punggung, pantat, kaki, kulit kepala, leher, dan di belakang telinga.

    Waspadai Melanoma
    Melanoma adalah jenis kanker kulit yang paling serius, terjadi pada sel yang menghasilkan pigmen melanin yang memberikan warna pada kulit. Melanoma dapat juga terjadi di mata dan organ internal, seperti saluran pencernaan, meskipun jarang terjadi. Penyebab pasti melanoma tidak jelas, tetapi radiasi sinar ultraviolet (UV) dapat meningkatkan risiko terkena melanoma. Faktor lainnya adalah genetik yang mungkin juga memainkan peran.
    Tahi lalat yang tidak wajar dapat mengindikasikan melanoma. Ciri-cirinya adalah bentuk yang tidak beraturan, batas yang tidak beraturan yang merupakan karakteristik dari melanoma, perubahan warna pada tahi lalat, dan diameter lebih besar dari 6 milimeter. Selain itu, pada tahi lalat melanoma dapat muncul tanda dan gejala baru, seperti rasa gatal atau pendarahan. Bila terjadi perubahan pada tahi lalat Anda seperti ciri-ciri yang disebutkan di atas, segera periksakan ke dokter.

    Diagnosa dan Pencegahan
    Segeralah mengunjungi dokter kulit jika Anda menemukan tahi lalat dengan ciri yang mengindikasikan melanoma. Dokter Anda mungkin akan meminta informasi tentang perkembangan tahi lalat Anda serta riwayat keluarga, untuk menilai risiko yang Anda miliki. Risiko melanoma meningkat bila Anda memiliki keluarga yang juga terkena penyakit tersebut.

    Umumnya dokter akan memeriksa dan menggunakan aturan ABCDE untuk menilai tahi lalat, yaitu:
    Asymmetry: simetris berarti baik dan sebaliknya
    Border : bila tahi lalat berbatas tegas berarti baik
    Color : bila terdapat banyak warna patut dicurigai
    Diameter: ukuran yang disepakati adalah 0,6 cm (6 mm). Bila lebih besar dari 0,6 cm (6 mm) bukan tanda yang baik
    Elevation/enlargement: meninggi dari permukaan kulit berarti bukan hal yang baik

    Di samping itu juga perlu waspada apabila memiliki jumlah tahi lalat yang banyak. Satu hal yang perlu Anda perlu ketahui adalah bahwa tahi lalat berambut bukan tanda ke arah kanker. Umumnya bila terdapat kecurigaan, dokter akan melakukan biopsi dan bila positif, terapi terbaik adalah dengan pengangkatan tahi lalat (tindakan bedah).

    Okay...semoga bukan ke arah melanoma ya (amin tapi tetap prepare for the unexpected) karena harus menunggu bulan depan baru bs berkonsultasi dengan SpB ( ^ ___ ^ )
    GOD's Will


    Sunday, January 13, 2013

    FLAT FEET


    Flat feet (kaki ceper) adalah normal pada bayi. Cekungan kaki akan muncul pada usia 3-4 tahun. Sekitar 20% anak memang tidak punya cekungan kaki dan ini normal. Flat feet tidak mengakibatkan anak cepat lelah. Anak dengan flat feet mampu beraktivitas normal. Anak dengan flexible flat feet tidak memerlukan sepatu atau program khusus untuk membuat cekungan kakinya muncul.20 persen anak sampai dewasa tidak mempunyai cekungan kaki dan ini normal (tidak mengakibatkan cepat lelah) asalkan tidak stiff, tidak painful, tidak progressif, tidak asymetry, tidak ada gangguan pola berjalan. Sepatu atau insole tidak menyelesaikan masalah karena hanya akan develop temporary foot arch, begitu sepatunya dilepas maka foot arch akan hilang kembali

    Dalam hal ini faktor keturunan ada memegang peranan. Sifat yang diturunkan dari orang tuanya adalah loose ligaments nya (elastisitas jaringan lunak) Analoginya adalah Asma bronchial, yang diturunkan bukan asma bronchialnya tapi hiperreaktivitas bronchusnya.
    untuk mengetahui apakah kaki flat feet atau tidak dapat dilihat dengan cara
    The foot arch flattens when the child stands (a), but is visible when standing on tiptoes (b) or if the feet are off the ground (c). Apabila ini yang terjadi pada anak ibu maka dia memiliki flexible flatfoot yang sebenarnya varian normal kalau cekungannya lebih tinggi dalam bahasa medis disebut pes cavus (kalau flat foot disebut pes planus). Pada pes cavus kita harus lebih concern, harus lebih teliti lagi memeriksanya karena kemungkinan besar memiliki masalah neuromuskular. Artinya ada kemungkinan otot atau syaraf nya tidak seimbang satu sama lain sehingga menyebabkan deformitas
    info dari :
    dr. Aryadi Kurniawan, Sp.OT

    Sumber :
    - Room For Children, -
    - artikel flat feet
    dari Royal Children Hospital Melbourne

    Thursday, January 10, 2013

    Klarifikasi tentang Salah Persepsi Akibat Tulisan ‘Malik dan dokter Belanda (Dimana salahnya)’ dan juga buku ‘Smart Patient’ part 2

    berikut adalah klarifikasi dari dr. Agnes sendiri mengenai tulisan beliau di buku "Smart Patient", yang beliau tuliskan di note account Facebook beliau.

    Klarifikasi tentang Salah Persepsi Akibat Tulisan ‘Malik dan dokter Belanda (Dimana salahnya)’ dan juga buku ‘Smart Patient’
    by Agnes Tri Harjaningrum on Thursday, January 10, 2013 at 6:27pm ·

    Sebetulnya sudah sejak lama saya sering mendapatkan kiriman pesan baik langsung maupun tidak langsung, baik positif atau negative, akibat cuplikan bagian I buku ‘smart patient’ (yang tentang cerita malik dan dokter Belanda berjudul ‘Dimana Salahnya’) tersebar di dunia maya tanpa bisa saya kontrol. Akibatnya selain laporan tentang dampak positifnya, timbul juga beberapa persepsi dari pembaca seperti: jadi anti antibiotic dan anti obat kimia. Saya pun menerima masukan bahwa pasien menjadikan buku saya sebagai pegangan untuk tidak percaya pada dokter, dll.

    Saya akui bahwa saya salah karena telah membiarkan cuplikan bagian buku tersebut tersebar sehingga menimbulkan salah penafsiran yang ‘out of contex’, karena tidak mendapatkan pesan lengkap dari bukunya. Saya juga menyadari bahwa mungkin ada kata-kata dalam artikel tersebut (maupun dalam buku) yang terasa terlalu ‘harsh’ sehingga beberapa pihak menjadi tersinggung karenanya. Untuk itu saya mohon maaf sebesar-besarnya, sama sekali tidak ada niatan untuk menyinggung, tapi semua terjadi semata-mata karena saya masih dalam proses belajar dan belum piawai dalam menyusun kata. Namun sekali lagi, di dunia maya apapun bisa terjadi dan saya tidak bisa mengontrolnya. Mungkin ceritanya akan menjadi berbeda ketika pembaca tidak semata membaca artikel tersebut tetapi juga membaca secara lengkap isi bukunya dengan benar. Karena itu saya hanya ingin mengklarifikasi bagian yang paling penting bahwa:



    Dari tulisan tersebut maupun dari buku yang saya tulis, saya sama sekali tidak pernah menganjurkan untuk menjadi anti obat kimia, anti antibiotic maupun anti dokter. Jika ada yang menafsirkan demikian, mohon maaf tolong baca selengkapnya buku saya dengan benar. Dalam tulisan saya, justru saya menekankan untuk, plis jadilah smart dan rasional, lihat evidence based, lihat apa kata penelitian, liat sumber-sumber terpercaya supaya kita tidak gampang tertipu dan salah. Dalam buku itu saya juga tidak mengatakan untuk anti dokter tapi justru, ayo, tolong, bantulah dokter dan bekerjasamalah dengan dokter. Tidak perlu minum obat kalau tidak perlu, tapi justru harus minum obat kalau memang perlu.Saya tidak menganjurkan obat-obat herbal, bekam dll, yang memang tidak ada dalam buku tersebut bukan karena saya anti terhadap obat-obatan/tindakan tersebut melainkan karena saya memang belum menemukan penelitiannya dalam literature yang saya baca dan saya tidak ingin menulis sesuatu yang saya tidak memiliki bukti medis yang bisa saya pertanggungjawabkan tentangnya. Jika pembaca ingin menganjurkan tentang herbal, bekam dan lain-lain ini kepada yang lainnya, silahkan, tidak ada yang melarang, tapi tolong jangan cantumkan artikel saya ataupun buku saya untuk mendasarinya.

    Dengan klarifikasi ini saya hanya berharap semoga tulisan saya tidak disalahgunakan dan disalahtafsirkan. Saat menulis setiap bagian di buku itu, saya selalu usahakan untuk mengawalinya dengan doa dan tak berani saya menulis sebelum membaca sumber-sumber terpercaya. Meski demikian, tetap saja tulisan saya memang jauh dari sempurna karena kesempurnaan hanyalah milikNya. Karena itu sekali lagi saya mohon maaf dan juga saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak, respon yang saya terima kemudian semakin menyadarkan saya akan pentingnya berhati-hati dalam menulis. Saat dalam proses penulisan buku itu, saya bergetar, saya berpikir panjang, saya butuh waktu tahunan sebelum kemudian memutuskan untuk menerbitkan buku itu, karena saya sadar bahwa konsekuensi menjadi penulis dan sebuah tulisan tidaklah gampang. Apapun yang saya tulis harus bisa dipertanggungjawabkan bagi dunia dan akhirat saya. Karena itu, tolong gunakan dan persepsikan tulisan saya sebagaimana mestinya.

    Demikian klarifikasi dari saya,

    Agnes Tri Harjaningrum, penulis artikel ‘Dimana Salahnya’ yang merupakan bagian dari buku Smart Patient.

    adalah sebuah keberanian besar untuk mengakui kesalahan penyampaian dan menerima kritik dari orang lain serta meluruskan kembali pandangan orang tua tentang bagaimana menjadi "Smart Patient" dan menjadi rasional dalam menggunakan obat.
    hormat saya untuk dr.
    Agnes Tri Harjaningrum yg sudah memperbolehkan note beliau di share di blog saya. Semoga selalu sukses dan penuh berkah

    link sumber : https://www.facebook.com/notes/agnes-tri-harjaningrum/klarifikasi-tentang-salah-persepsi-akibat-tulisan-malik-dan-dokter-belanda-diman/10151304335418796

    salam

    Klarifikasi tentang Salah Persepsi Akibat Tulisan ‘Malik dan dokter Belanda (Dimana salahnya)’ dan juga buku ‘Smart Patient’ part 1

    Saya rasa anda semua masih ingat dengan artikel yg dituliskan oleh seorang dokter mengenai antibiotik bukan, sekedar flashback akan saya tuliskan lagi kutipan dari buku beliau "Smart Patient"


    "Smart Patient" (karya dr.Agnes Tri Hajaningrum)
      
    Malik tergolek lemas. Matanya sayu. Bibirnya pecah-pecah. Wajahnya kian tirus.
    Di mataku ia berubah seperti anak dua tahun kurang gizi. Biasanya aku selalu
    mendengar celoteh dan tawanya di pagi hari. Kini tersenyum pun ia tak mau.
    Sesekali ia muntah. Dan setiap melihatnya muntah, hatiku tergores-gores rasanya.
    Lambungnya diperas habis-habisan seumpama ampas kelapa yang tak lagi bisa
    mengeluarkan santan. Pedih sekali melihatnya terkaing-kaing seperti itu.

    Waktu itu, belum sebulan aku tinggal di Belanda, dan putraku Malik terkena demam
    tinggi. Setelah tiga hari tak juga ada perbaikan aku membawanya ke huisart
    (dokter keluarga) kami, dokter Knol namanya. "Just wait and see. Don’t forget to
    drink a lot. Mostly this is a viral infection." kata dokter tua itu. "Ha? Just
    wait and see? Apa dia nggak liat anak ku dying begitu?" batinku meradang.
    Ya…ya…aku tahu sih masih sulit untuk menentukan diagnosa pada kasus demam tiga
    hari tanpa ada gejala lain. Tapi masak sih nggak diapa-apain. Dikasih obat juga
    enggak! Huh! Dokter Belanda memang keterlaluan! Aku betul-betul menahan kesal.

    "Obat penurun panas Dok?"tanyaku lagi. "Actually that is not necessary if the
    fever below 40 C." "Waks! Nggak perlu dikasih obat panas? Kalau anakku
    kenapa-kenapa memangnya dia mau nanggung?" Kesalku kian membuncah. Tapi aku tak
    ingin ngeyel soal obat penurun panas. Sebetulnya di rumah aku sudah memberi
    Malik obat penurun panas, tapi aku ingin dokter itu memberi obat jenis lain.
    Sudah lama kudengar bahwa dokter disini pelit obat. Karena itu aku membawa
    setumpuk obat-obatan dari Indonesia, termasuk obat penurun panas.

    Dua hari kemudian, demam Malik tak kunjung turun dan frekuensi muntahnya juga
    bertambah. Aku segera kembali ke dokter. Tapi si dokter tetap menyuruhku wait
    and see. Pemeriksaan laboratorium baru akan dilakukan bila panas anakku menetap
    hingga hari ke tujuh. "Anakku ini suka muntah-muntah juga Dok," kataku. Lalu si
    dokter menekan-nekan perut anakku." "Apakah dia sudah minum suatu obat?" Aku
    mengangguk. ―Ibuprofen syrup Dok," jawabku. Eh tak tahunya mendengar jawabanku,
    si dokter malah ngomel-ngomel,"Kenapa kamu kasih syrup Ibuprofen? Pantas saja
    dia muntah-muntah. Ibuprofen itu sebaiknya tidak diberikan untuk anak-anak,
    karena efeknya bisa mengiritasi lambung. Untuk anak-anak lebih baik beri
    paracetamol saja." Huuh! Walaupun dokter itu mengomel sambil tersenyum ramah,
    tapi aku betul-betul jengkel dibuatnya. Jelek-jelek begini gue lulusan fakultas
    kedokteran tau! Nah kalau buat anak nggak baik kenapa di Indonesia obat itu
    bertebaran! Batinku meradang.
     
    Untungnya aku masih bisa menahan diri. Tapi setibanya dirumah, suamiku langsung
    menjadi korban kekesalanku."Lha wong di Indonesia, dosenku aja ngasih obat
    penurun panas nggak pake diukur suhunya je. Mau 37 keq, 38 apa 39 derajat keq,
    tiap ke dokter dan bilang anakku sakit panas, penurun panas ya pasti dikasih.
    Sirup ibuprofen juga dikasih koq ke anak yang panas, bukan cuma parasetamol.
    Masa dia bilang ibuprofen nggak baik buat anak!" Seperti rentetan peluru,
    kicauanku bertubi-tubi keluar dari mulutku. "Mana Malik nggak dikasih apa-apa
    pulak, cuma suruh minum parasetamol doang, itu pun kalau suhunya diatas 40
    derajat C! Duuh memang keterlaluan Yah dokter Belanda itu!" Suamiku
    menimpali,"Lho, kalau Mama punya alasan, kenapa tadi nggak bilang ke
    dokternya?" Aku menarik napas tak panjang."Hmm…tadi aku sudah kadung bete sama si
    dokter, rasanya ingin buru-buru pulang saja. Tapi…alasannya apa ya?"

    Mendadak aku kebingungan. Aku akui, sewaktu praktek menjadi dokter dulu, aku
    lebih banyak mencontek apa yang dilakukan senior. Tiga bulan menjadi co-asisten
    di bagian anak memang membuatku kelimpungan dan belajar banyak hal, tapi hanya
    secuil-secuil ilmu yang kudapat. Persis seperti orang yang katanya travelling
    keliling Eropa dalam dua minggu. Menclok sebentar di Paris, lalu dua hari pergi
    ke Roma. Dua hari di Amsterdam, kemudian tiga hari mengunjungi Vienna. Puas
    beberapa hari berdiam di Berlin dan Swiss, kemudian waktu habis. Tibalah saatnya
    pulang lagi ke Indonesia. Tampaknya orang itu sudah keliling Eropa, padahal ia
    hanya mengunjungi ibukota utama saja. Masih banyak sekali negara dan kota-kota
    di Eropa yang belum disambanginya. Dan itu lah yang terjadi pada kami, pemuda
    pemudi fresh graduate from the oven Fakultas Kedokteran. Malah kadang-kadang apa
    yang sudah kami pelajari dulu, kasusnya tak pernah kami jumpai dalam praktek
    sehari-hari. Berharap bisa memberikan resep cespleng seperti dokter-dokter
    senior, akhirnya kami pun sering mengintip resep ajian senior!

    Setelah Malik sembuh, beberapa minggu kemudian, Lala, putri pertamaku
    ikut-ikutan sakit. Suara "Srat..srut..srat srut" dari hidungnya bersahut-sahutan.
    Sesekali wajahnya memerah gelap dan bola matanya seperti mau copot saat batuknya
    menggila. Kadang hingga bermenit-menit batuknya tak berhenti. Sesak rasanya
    dadaku setiap kali mendengarnya batuk. Suara uhuk-uhuk itu baru reda jika ia
    memuntahkan semua isi perut dan kerongkongannya. Duuh Gustiiii…kenapa tidak Kau
    pindahkan saja rasa sakitnya padaku Nyerii rasanya hatiku melihat rautnya yang
    seperti itu. Kuberikan obat batuk yang kubawa dari Indonesia pada putriku. Tapi
    batuknya tak kunjung hilang dan ingusnya masih meler saja.

    Lima hari kemudian, Lala pun segera kubawa ke huisart. Dan lagi-lagi dokter itu
    mengecewakan aku. "Just drink a lot," katanya ringan. Aduuuh Dook! Tapi anakku
    tuh matanya sampai kayak mata sapi melotot kalau batuk, batinku kesal. "Apa
    nggak perlu dikasih antibiotik Dok?" tanyaku tak puas. "This is mostly a viral
    infection, no need for an antibiotik," jawabnya lagi. Ggrh…gregetan deh rasanya.
    Lalu ngapain dong aku ke dokter, kalo tiap ke dokter pulang nggak pernah dikasih
    obat. Paling enggak kasih vitamin keq! kesahku dalam hati."Lalu Dok, buat
    batuknya gimana Dok? Batuknya tuh betul-betul terus-terusan," kataku ngeyel.
    Dengan santai si dokterpun menjawab," Ya udah beli aja obat batuk Thyme syrop. Di
    toko obat juga banyak koq."

    Hmm…lumayan lah… kali ini aku pulang dari dokter bisa membawa obat, walau itu
    pun harus dengan perjuangan ngeyel setengah mati dan walau ternyata isi obat
    Thyme itu hanya berisi ekstrak daun thyme dan madu. "Kenapa sih negara ini,
    katanya negara maju, tapi koq dokternya kayak begini." Aku masih saja sering
    mengomel soal huisart kami kepada suamiku. Saat itu aku memang belum memiliki
    waktu untuk berintim-intim dengan internet. Jadi yang ada di kepalaku, cara
    berobat yang betul adalah seperti di Indonesia. Di Indonesia, anak-anakku punya
    langganan beberapa dokter spesialis anak. Dokter-dokter ini pernah menjadi
    dosenku ketika aku kuliah. Maklum, walaupun aku lulusan fakultas kedokteran,
    tapi aku malah tidak pede mengobati anak-anakku sendiri. Dan walaupun
    anak-anakku hanya menderita penyakit sehari-hari yang umum terjadi pada anak
    seperti demam, batuk pilek, mencret, aku tetap membawa mereka ke dokter anak.
    Meski baru sehari, dua atau tiga hari mereka sakit, buru-buru mereka kubawa ke
    dokter. Tak pernah aku pulang tanpa obat. Dan tentu saja obat dewa itu, sang
    antibiotik, selalu ada dalam kantong plastik obatku.

    Tak lama berselang putriku memang sembuh. Tapi sebulan kemudian ia sakit lagi.
    Batuk pilek putriku kali ini termasuk ringan, tapi hampir dua bulan sekali ia
    sakit. Dua bulan sekali memang lebih mendingan karena di Indonesia dulu, hampir
    tiap dua minggu ia sakit. Karena khawatir ada yang tak beres, lagi-lagi aku
    membawanya ke huisart. ―"ok anak ini koq sakit batuk pilek melulu ya, kenapa ya
    Dok." Setelah mendengarkan dada putriku dengan stetoskop, melihat tonsilnya, dan
    lubang hidungnya, huisartku menjawab,"Nothing to worry. Just a viral
    infection." Aduuuh Doook… apa nggak ada kata-kata lain selain viral infection
    seh! Lagi-lagi aku sebal.

    "Tapi Dok, dia sering banget sakit, hampir tiap sebulan atau dua bulan Dok," aku
    ngeyel seperti biasa. Dokter tua yang sebetulnya baik dan ramah itu tersenyum.
    "Do you know how many times normally children get sick every year?" Aku terdiam.
    Tak tahu harus menjawab apa. "enam kali," jawabku asal. "Twelve time in a year,
    researcher said," katanya sambil tersenyum lebar. "Sebetulnya kamu tak perlu ke
    dokter kalau penyakit anakmu tak terlalu berat," sambungnya. Glek! Aku cuma bisa
    menelan ludah. Dijawab dengan data-data ilmiah seperti itu, kali ini aku pulang
    ke rumah dengan perasaan malu. Hmm…apa aku yang salah?Dimana salahnya? Ah
    sudahlah…barangkali si dokter benar, barangkali memang aku yang selama ini
    kurang belajar.

    Kesalahan Paradigma

    Lalu, setelah aku bisa beradaptasi dengan kehidupan di negara Belanda, aku mulai
    berinteraksi dengan internet. Suatu saat aku menemukan artikel milik Prof. Iwan
    Darmansyah, seorang ahli obat-obatan dari Fakultas Kedokteran UI. Bunyinya
    begini:
    "Batuk - pilek beserta demam yang terjadi sekali-kali dalam 6 - 12 bulan
    sebenarnya masih dinilai wajar. Tetapi observasi menunjukkan bahwa kunjungan ke
    dokter bisa terjadi setiap 2 - 3 minggu selama bertahun-tahun." Wah persis
    seperti yang dikatakan huisartku, batinku. Dan betul anak-anakku memang sering
    sekali sakit sewaktu di Indonesia dulu.

    "Bila ini yang terjadi, maka ada dua kemungkinan kesalahkaprahan dalam
    penanganannya," Lanjut artikel itu.
    ―Pertama, pengobatan yang diberikan selalu
    mengandung antibiotik. Padahal 95% serangan batuk-pilek dengan atau tanpa demam
    disebabkan oleh virus, dan antibiotik tidak dapat membunuh virus. Di lain pihak,
    antibiotik malah membunuh kuman baik dalam tubuh, yang berfungsi menjaga
    keseimbangan dan menghindarkan kuman jahat menyerang tubuh. Ia juga mengurangi
    imunitas si anak, sehingga daya tahannya menurun. Akibatnya anak jatuh sakit
    setiap 2 - 3 minggu dan perlu berobat lagi. Lingkaran setan ini: sakit –>
    antibiotik-> imunitas menurun -> sakit lagi, akan membuat si anak diganggu
    panas-batuk-pilek sepanjang tahun, selama bertahun-tahun.‖

    Hwaaaa! Rupanya ini lah yang selama ini terjadi pada anakku. Duuh…duuh..kemana
    saja aku selama ini sehingga tak menyadari kesalahan yang kubuat sendiri pada
    anak-anakku. Eh..sebetulnya..bukan salahku dong. Aku kan sudah membawa mereka ke
    dokter spesialis anak. Sekali lagi, mereka itu dosenku lho! Masa sih aku tak
    percaya kepada mereka. Dan rupanya, setelah di Belanda ‗dipaksa‘ tak lagi pernah
    mendapat antibiotik untuk penyakit khas anak-anak sehari-hari, sekarang kondisi
    anak-anakku jauh lebih baik. Disini, mereka jadi jarang sakit, hanya diawal-awal
    kedatangan saja mereka sakit.

    Kemudian, aku membaca lagi artikel-artikel lain milik prof Iwan Darmansyah. Dan
    di suatu titik, aku tercenung mengingat kata-kata ‗pengobatan rasional‘.
    Lho…bukankah dulu aku juga pernah mendapatkan kuliah tentang apa itu pengobatan
    rasional. Hey! Lalu kemana perginya ingatan itu? Aku terlalu sibuk mengurus
    keluarga rupanya? Jadi, apa yang selama ini kulakukan—tidak meneliti baik-baik
    obat yang kuberikan pada anak-anakku, sedikit-sedikit memberi obat penurun
    panas, sedikit-sedikit memberi antibiotik, baru sehari atau dua hari anak
    mengalami sakit ringan seperti, batuk, pilek, demam, mencret, aku sudah panik
    dan segera membawa anak ke dokter, serta sedikit-sedikit memberi vitamin—
    rupanya adalah tindakan yang sama sekali tidak rasional! Hmm...kalau begitu,
    terlepas dari kekurangan yang pasti juga ada, sistem kesehatan di Belanda adalah
    sebuah contoh sistem yang menerapkan betul apa itu pengobatan rasional.

    Belakangan aku pun baru mengetahui bahwa ibuprofen memang lebih efektif
    menurunkan demam pada anak, sehingga di banyak negara termasuk Amerika Serikat,
    ibuprofen dipakai secara luas untuk anak-anak. Tetapi karena resiko efek
    sampingnya lebih besar, Belgia dan Belanda menetapkan kebijakan lain. Walaupun
    obat ibuprofen juga tersedia di apotek dan boleh digunakan untuk usia anak
    diatas 6 bulan, namun di kedua negara ini, parasetamol tetap dinyatakan sebagai
    obat pilihan pertama pada anak yang mengalami demam. ―Duh, untung ya Yah aku
    nggak bilang ke huisart kita kalo aku ini di Indonesia adalah seorang dokter.
    Kalo iya malu-maluin banget nggak sih, ketauan begonya hehe,‖kataku pada
    suamiku.

    ***

    Jadi, bagaimana dengan para orangtua di Indonesia? Aku tak ingin berbicara
    terlalu jauh soal mereka-mereka yang tinggal di desa atau orang-orang yang
    terpinggirkan, ceritanya bisa lain. Karena kekurangan dan ketidakmampuan, untuk
    kasus penyakit anak sehari-hari, orang-orang desa itu malah relatif
    ‗terlindungi‘ dari paparan obat-obatan yang tak perlu. Sementara kita yang
    tinggal di kota besar— yang cukup berduit, sudah melek sekolah, internet dan
    pengetahuan, malah kebanyakan selalu dokter-minded dan gampang dijadikan sasaran
    oleh perusahaan obat dan media. Batuk pilek sedikit ke dokter, demam sedikit ke
    dokter, mencret sedikit ke dokter. Kalau pergi ke dokter lalu tak diberi obat,
    biasanya kita malah ngomel-ngomel, ‗memaksa‘ agar si dokter memberikan obat.
    Iklan-iklan obat pun bertebaran di media, bahkan tak jarang dokter-dokter
    ‗menjual‘ obat tertentu melalui media. Padahal mestinya dokter dilarang
    mengiklankan suatu produk obat.

    Dan bagaimana pula dengan teman-teman sejawatku dan dosen-dosenku yang kerap
    memberikan antibiotik dan obat-obatan yang tidak perlu pada pasien batuk, pilek,
    demam, mencret? Malah aku sendiri dulu pun melakukannya karena nyontek senior.
    Apakah manfaatnya lebih besar dibandingkan resikonya? Tentu saja tidak. Biaya
    pengobatan membengkak, anak malah gampang sakit dan terpapar obat yang tak
    perlu. Belum lagi bahaya besar jelas mengancam seluruh umat manusia: superbug,
    resitensi antibiotik! Tapi mengapa semua itu terjadi?

    Duuh Tuhan, aku tahu sesungguhnya Engkau tak menyukai sesuatu yang sia-sia dan
    tak ada manfaatnya. Namun selama ini aku telah alpa. Sebagai orangtua, bahkan
    aku sendiri yang mengaku lulusan fakultas kedokteran ini, telah terlena dan tak
    menyadari semuanya. Aku tak akan eling kalau aku tidak menyaksikan sendiri dan
    tidak tinggal di negeri kompeni ini. Apalagi dengan masyarakat awam, para
    orangtua baru yang memiliki anak-anak kecil itu. Jadi bagaimana mengurai
    keruwetan ini seharusnya? Uh! Memikirkannya aku seperti terperosok ke lubang
    raksasa hitam. Aku tak tahu, sungguh!

    Tapi yang pasti kini aku sadar…telah terjadi kesalahan paradigma pada kebanyakan
    kita di Indonesia dalam menghadapi anak sakit. Disini aku sering pulang dari
    dokter tanpa membawa obat. Aku ke dokter biasanya ‗hanya‘ untuk konsultasi,
    memastikan diagnosa penyakit anakku dan penanganan terbaiknya, serta meyakinkan
    diriku bahwa anakku baik-baik saja. Tapi di Indonesia, bukankah paradigma yang
    masih kerap dipegang adalah ke dokter = dapat obat? Sehingga tak jarang dokter
    malah tidak bisa bertindak rasional karena tuntutan pasien. Aku juga sadar
    sistem kesehatan di Indonesia memang masih ruwet. Kebijakan obat nasional belum
    berpihak pada rakyat. Perusahaan obat bebas ‗beraksi‘ tanpa ada peraturan dan
    hukum yang tegas dari pemerintah. Dokter pun ‗bebas‘ meresepkan obat apa saja
    tanpa ngeri mendapat sangsi. Intinya, sistem kesehatan yang ada di Indonesia
    saat ini membuat dokter menjadi sulit untuk bersikap rasional.

    Lalu dimana ujung pangkal salahnya? Ah rasanya percuma mencari-cari ujung
    pangkal salahnya. Menunjuk siapa yang salah pun tak ada gunanya. Tapi kondisi
    tersebut jelas tak bisa dibiarkan. Siapa yang harus memulai perubahan?
    Pemerintah, dokter, petugas kesehatan, perusahaan obat, tentu semua harus
    berubah. Namun, dalam kondisi seperti ini, mengharapkan perubahan kebijakan
    pemerintah dalam waktu dekat sungguh seperti pungguk merindukan bulan. Yang
    pasti, sebagai pasien kita pun tak bisa tinggal diam. Siapa bilang pasien tak
    punya kekuatan untuk merubah sistem kesehatan? Setidaknya, bila pasien
    ‗bergerak‘, masalah kesehatan di Indonesia, utamanya kejadian pemakaian obat
    yang tidak rasional dan kesalahan medis tentu bisa diturunkan.

    setelah membaca artikel/atau kutipan tersebut banyak sekali orang tua yg menjadi anti-antibiotik menyalahkan dokter dan berusaha mencari dokter yang RUM (katanya). padahal mereka juga harusnya sadar bagaimana kondisi di negara Indonesia sendiri yg beriklim tropis dan lembab dan dapat membuat bakteri tumbuh lebih subur di bandingkan negara-negara lain terutama Eropa dimana dr.Agnes tinggal.

    to be continued...