Saya rasa anda semua masih ingat dengan artikel yg dituliskan oleh seorang dokter mengenai antibiotik bukan, sekedar flashback akan saya tuliskan lagi kutipan dari buku beliau "Smart Patient"
"Smart Patient" (karya dr.Agnes Tri Hajaningrum)
Malik tergolek lemas. Matanya sayu. Bibirnya pecah-pecah. Wajahnya kian tirus.
Di mataku ia berubah seperti anak dua tahun kurang gizi. Biasanya aku selalu
mendengar celoteh dan tawanya di pagi hari. Kini tersenyum pun ia tak mau.
Sesekali ia muntah. Dan setiap melihatnya muntah, hatiku tergores-gores rasanya.
Lambungnya diperas habis-habisan seumpama ampas kelapa yang tak lagi bisa
mengeluarkan santan. Pedih sekali melihatnya terkaing-kaing seperti itu.
Waktu itu, belum sebulan aku tinggal di Belanda, dan putraku Malik terkena demam
tinggi. Setelah tiga hari tak juga ada perbaikan aku membawanya ke huisart
(dokter keluarga) kami, dokter Knol namanya. "Just wait and see. Don’t forget to
drink a lot. Mostly this is a viral infection." kata dokter tua itu. "Ha? Just
wait and see? Apa dia nggak liat anak ku dying begitu?" batinku meradang.
Ya…ya…aku tahu sih masih sulit untuk menentukan diagnosa pada kasus demam tiga
hari tanpa ada gejala lain. Tapi masak sih nggak diapa-apain. Dikasih obat juga
enggak! Huh! Dokter Belanda memang keterlaluan! Aku betul-betul menahan kesal.
"Obat penurun panas Dok?"tanyaku lagi. "Actually that is not necessary if the
fever below 40 C." "Waks! Nggak perlu dikasih obat panas? Kalau anakku
kenapa-kenapa memangnya dia mau nanggung?" Kesalku kian membuncah. Tapi aku tak
ingin ngeyel soal obat penurun panas. Sebetulnya di rumah aku sudah memberi
Malik obat penurun panas, tapi aku ingin dokter itu memberi obat jenis lain.
Sudah lama kudengar bahwa dokter disini pelit obat. Karena itu aku membawa
setumpuk obat-obatan dari Indonesia, termasuk obat penurun panas.
Dua hari kemudian, demam Malik tak kunjung turun dan frekuensi muntahnya juga
bertambah. Aku segera kembali ke dokter. Tapi si dokter tetap menyuruhku wait
and see. Pemeriksaan laboratorium baru akan dilakukan bila panas anakku menetap
hingga hari ke tujuh. "Anakku ini suka muntah-muntah juga Dok," kataku. Lalu si
dokter menekan-nekan perut anakku." "Apakah dia sudah minum suatu obat?" Aku
mengangguk. ―Ibuprofen syrup Dok," jawabku. Eh tak tahunya mendengar jawabanku,
si dokter malah ngomel-ngomel,"Kenapa kamu kasih syrup Ibuprofen? Pantas saja
dia muntah-muntah. Ibuprofen itu sebaiknya tidak diberikan untuk anak-anak,
karena efeknya bisa mengiritasi lambung. Untuk anak-anak lebih baik beri
paracetamol saja." Huuh! Walaupun dokter itu mengomel sambil tersenyum ramah,
tapi aku betul-betul jengkel dibuatnya. Jelek-jelek begini gue lulusan fakultas
kedokteran tau! Nah kalau buat anak nggak baik kenapa di Indonesia obat itu
bertebaran! Batinku meradang.
Untungnya aku masih bisa menahan diri. Tapi setibanya dirumah, suamiku langsung
menjadi korban kekesalanku."Lha wong di Indonesia, dosenku aja ngasih obat
penurun panas nggak pake diukur suhunya je. Mau 37 keq, 38 apa 39 derajat keq,
tiap ke dokter dan bilang anakku sakit panas, penurun panas ya pasti dikasih.
Sirup ibuprofen juga dikasih koq ke anak yang panas, bukan cuma parasetamol.
Masa dia bilang ibuprofen nggak baik buat anak!" Seperti rentetan peluru,
kicauanku bertubi-tubi keluar dari mulutku. "Mana Malik nggak dikasih apa-apa
pulak, cuma suruh minum parasetamol doang, itu pun kalau suhunya diatas 40
derajat C! Duuh memang keterlaluan Yah dokter Belanda itu!" Suamiku
menimpali,"Lho, kalau Mama punya alasan, kenapa tadi nggak bilang ke
dokternya?" Aku menarik napas tak panjang."Hmm…tadi aku sudah kadung bete sama si
dokter, rasanya ingin buru-buru pulang saja. Tapi…alasannya apa ya?"
Mendadak aku kebingungan. Aku akui, sewaktu praktek menjadi dokter dulu, aku
lebih banyak mencontek apa yang dilakukan senior. Tiga bulan menjadi co-asisten
di bagian anak memang membuatku kelimpungan dan belajar banyak hal, tapi hanya
secuil-secuil ilmu yang kudapat. Persis seperti orang yang katanya travelling
keliling Eropa dalam dua minggu. Menclok sebentar di Paris, lalu dua hari pergi
ke Roma. Dua hari di Amsterdam, kemudian tiga hari mengunjungi Vienna. Puas
beberapa hari berdiam di Berlin dan Swiss, kemudian waktu habis. Tibalah saatnya
pulang lagi ke Indonesia. Tampaknya orang itu sudah keliling Eropa, padahal ia
hanya mengunjungi ibukota utama saja. Masih banyak sekali negara dan kota-kota
di Eropa yang belum disambanginya. Dan itu lah yang terjadi pada kami, pemuda
pemudi fresh graduate from the oven Fakultas Kedokteran. Malah kadang-kadang apa
yang sudah kami pelajari dulu, kasusnya tak pernah kami jumpai dalam praktek
sehari-hari. Berharap bisa memberikan resep cespleng seperti dokter-dokter
senior, akhirnya kami pun sering mengintip resep ajian senior!
Setelah Malik sembuh, beberapa minggu kemudian, Lala, putri pertamaku
ikut-ikutan sakit. Suara "Srat..srut..srat srut" dari hidungnya bersahut-sahutan.
Sesekali wajahnya memerah gelap dan bola matanya seperti mau copot saat batuknya
menggila. Kadang hingga bermenit-menit batuknya tak berhenti. Sesak rasanya
dadaku setiap kali mendengarnya batuk. Suara uhuk-uhuk itu baru reda jika ia
memuntahkan semua isi perut dan kerongkongannya. Duuh Gustiiii…kenapa tidak Kau
pindahkan saja rasa sakitnya padaku Nyerii rasanya hatiku melihat rautnya yang
seperti itu. Kuberikan obat batuk yang kubawa dari Indonesia pada putriku. Tapi
batuknya tak kunjung hilang dan ingusnya masih meler saja.
Lima hari kemudian, Lala pun segera kubawa ke huisart. Dan lagi-lagi dokter itu
mengecewakan aku. "Just drink a lot," katanya ringan. Aduuuh Dook! Tapi anakku
tuh matanya sampai kayak mata sapi melotot kalau batuk, batinku kesal. "Apa
nggak perlu dikasih antibiotik Dok?" tanyaku tak puas. "This is mostly a viral
infection, no need for an antibiotik," jawabnya lagi. Ggrh…gregetan deh rasanya.
Lalu ngapain dong aku ke dokter, kalo tiap ke dokter pulang nggak pernah dikasih
obat. Paling enggak kasih vitamin keq! kesahku dalam hati."Lalu Dok, buat
batuknya gimana Dok? Batuknya tuh betul-betul terus-terusan," kataku ngeyel.
Dengan santai si dokterpun menjawab," Ya udah beli aja obat batuk Thyme syrop. Di
toko obat juga banyak koq."
Hmm…lumayan lah… kali ini aku pulang dari dokter bisa membawa obat, walau itu
pun harus dengan perjuangan ngeyel setengah mati dan walau ternyata isi obat
Thyme itu hanya berisi ekstrak daun thyme dan madu. "Kenapa sih negara ini,
katanya negara maju, tapi koq dokternya kayak begini." Aku masih saja sering
mengomel soal huisart kami kepada suamiku. Saat itu aku memang belum memiliki
waktu untuk berintim-intim dengan internet. Jadi yang ada di kepalaku, cara
berobat yang betul adalah seperti di Indonesia. Di Indonesia, anak-anakku punya
langganan beberapa dokter spesialis anak. Dokter-dokter ini pernah menjadi
dosenku ketika aku kuliah. Maklum, walaupun aku lulusan fakultas kedokteran,
tapi aku malah tidak pede mengobati anak-anakku sendiri. Dan walaupun
anak-anakku hanya menderita penyakit sehari-hari yang umum terjadi pada anak
seperti demam, batuk pilek, mencret, aku tetap membawa mereka ke dokter anak.
Meski baru sehari, dua atau tiga hari mereka sakit, buru-buru mereka kubawa ke
dokter. Tak pernah aku pulang tanpa obat. Dan tentu saja obat dewa itu, sang
antibiotik, selalu ada dalam kantong plastik obatku.
Tak lama berselang putriku memang sembuh. Tapi sebulan kemudian ia sakit lagi.
Batuk pilek putriku kali ini termasuk ringan, tapi hampir dua bulan sekali ia
sakit. Dua bulan sekali memang lebih mendingan karena di Indonesia dulu, hampir
tiap dua minggu ia sakit. Karena khawatir ada yang tak beres, lagi-lagi aku
membawanya ke huisart. ―"ok anak ini koq sakit batuk pilek melulu ya, kenapa ya
Dok." Setelah mendengarkan dada putriku dengan stetoskop, melihat tonsilnya, dan
lubang hidungnya, huisartku menjawab,"Nothing to worry. Just a viral
infection." Aduuuh Doook… apa nggak ada kata-kata lain selain viral infection
seh! Lagi-lagi aku sebal.
"Tapi Dok, dia sering banget sakit, hampir tiap sebulan atau dua bulan Dok," aku
ngeyel seperti biasa. Dokter tua yang sebetulnya baik dan ramah itu tersenyum.
"Do you know how many times normally children get sick every year?" Aku terdiam.
Tak tahu harus menjawab apa. "enam kali," jawabku asal. "Twelve time in a year,
researcher said," katanya sambil tersenyum lebar. "Sebetulnya kamu tak perlu ke
dokter kalau penyakit anakmu tak terlalu berat," sambungnya. Glek! Aku cuma bisa
menelan ludah. Dijawab dengan data-data ilmiah seperti itu, kali ini aku pulang
ke rumah dengan perasaan malu. Hmm…apa aku yang salah?Dimana salahnya? Ah
sudahlah…barangkali si dokter benar, barangkali memang aku yang selama ini
kurang belajar.
Kesalahan Paradigma
Lalu, setelah aku bisa beradaptasi dengan kehidupan di negara Belanda, aku mulai
berinteraksi dengan internet. Suatu saat aku menemukan artikel milik Prof. Iwan
Darmansyah, seorang ahli obat-obatan dari Fakultas Kedokteran UI. Bunyinya
begini:
"Batuk - pilek beserta demam yang terjadi sekali-kali dalam 6 - 12 bulan
sebenarnya masih dinilai wajar. Tetapi observasi menunjukkan bahwa kunjungan ke
dokter bisa terjadi setiap 2 - 3 minggu selama bertahun-tahun." Wah persis
seperti yang dikatakan huisartku, batinku. Dan betul anak-anakku memang sering
sekali sakit sewaktu di Indonesia dulu.
"Bila ini yang terjadi, maka ada dua kemungkinan kesalahkaprahan dalam
penanganannya," Lanjut artikel itu.
―Pertama, pengobatan yang diberikan selalu
mengandung antibiotik. Padahal 95% serangan batuk-pilek dengan atau tanpa demam
disebabkan oleh virus, dan antibiotik tidak dapat membunuh virus. Di lain pihak,
antibiotik malah membunuh kuman baik dalam tubuh, yang berfungsi menjaga
keseimbangan dan menghindarkan kuman jahat menyerang tubuh. Ia juga mengurangi
imunitas si anak, sehingga daya tahannya menurun. Akibatnya anak jatuh sakit
setiap 2 - 3 minggu dan perlu berobat lagi. Lingkaran setan ini: sakit –>
antibiotik-> imunitas menurun -> sakit lagi, akan membuat si anak diganggu
panas-batuk-pilek sepanjang tahun, selama bertahun-tahun.‖
Hwaaaa! Rupanya ini lah yang selama ini terjadi pada anakku. Duuh…duuh..kemana
saja aku selama ini sehingga tak menyadari kesalahan yang kubuat sendiri pada
anak-anakku. Eh..sebetulnya..bukan salahku dong. Aku kan sudah membawa mereka ke
dokter spesialis anak. Sekali lagi, mereka itu dosenku lho! Masa sih aku tak
percaya kepada mereka. Dan rupanya, setelah di Belanda ‗dipaksa‘ tak lagi pernah
mendapat antibiotik untuk penyakit khas anak-anak sehari-hari, sekarang kondisi
anak-anakku jauh lebih baik. Disini, mereka jadi jarang sakit, hanya diawal-awal
kedatangan saja mereka sakit.
Kemudian, aku membaca lagi artikel-artikel lain milik prof Iwan Darmansyah. Dan
di suatu titik, aku tercenung mengingat kata-kata ‗pengobatan rasional‘.
Lho…bukankah dulu aku juga pernah mendapatkan kuliah tentang apa itu pengobatan
rasional. Hey! Lalu kemana perginya ingatan itu? Aku terlalu sibuk mengurus
keluarga rupanya? Jadi, apa yang selama ini kulakukan—tidak meneliti baik-baik
obat yang kuberikan pada anak-anakku, sedikit-sedikit memberi obat penurun
panas, sedikit-sedikit memberi antibiotik, baru sehari atau dua hari anak
mengalami sakit ringan seperti, batuk, pilek, demam, mencret, aku sudah panik
dan segera membawa anak ke dokter, serta sedikit-sedikit memberi vitamin—
rupanya adalah tindakan yang sama sekali tidak rasional! Hmm...kalau begitu,
terlepas dari kekurangan yang pasti juga ada, sistem kesehatan di Belanda adalah
sebuah contoh sistem yang menerapkan betul apa itu pengobatan rasional.
Belakangan aku pun baru mengetahui bahwa ibuprofen memang lebih efektif
menurunkan demam pada anak, sehingga di banyak negara termasuk Amerika Serikat,
ibuprofen dipakai secara luas untuk anak-anak. Tetapi karena resiko efek
sampingnya lebih besar, Belgia dan Belanda menetapkan kebijakan lain. Walaupun
obat ibuprofen juga tersedia di apotek dan boleh digunakan untuk usia anak
diatas 6 bulan, namun di kedua negara ini, parasetamol tetap dinyatakan sebagai
obat pilihan pertama pada anak yang mengalami demam. ―Duh, untung ya Yah aku
nggak bilang ke huisart kita kalo aku ini di Indonesia adalah seorang dokter.
Kalo iya malu-maluin banget nggak sih, ketauan begonya hehe,‖kataku pada
suamiku.
***
Jadi, bagaimana dengan para orangtua di Indonesia? Aku tak ingin berbicara
terlalu jauh soal mereka-mereka yang tinggal di desa atau orang-orang yang
terpinggirkan, ceritanya bisa lain. Karena kekurangan dan ketidakmampuan, untuk
kasus penyakit anak sehari-hari, orang-orang desa itu malah relatif
‗terlindungi‘ dari paparan obat-obatan yang tak perlu. Sementara kita yang
tinggal di kota besar— yang cukup berduit, sudah melek sekolah, internet dan
pengetahuan, malah kebanyakan selalu dokter-minded dan gampang dijadikan sasaran
oleh perusahaan obat dan media. Batuk pilek sedikit ke dokter, demam sedikit ke
dokter, mencret sedikit ke dokter. Kalau pergi ke dokter lalu tak diberi obat,
biasanya kita malah ngomel-ngomel, ‗memaksa‘ agar si dokter memberikan obat.
Iklan-iklan obat pun bertebaran di media, bahkan tak jarang dokter-dokter
‗menjual‘ obat tertentu melalui media. Padahal mestinya dokter dilarang
mengiklankan suatu produk obat.
Dan bagaimana pula dengan teman-teman sejawatku dan dosen-dosenku yang kerap
memberikan antibiotik dan obat-obatan yang tidak perlu pada pasien batuk, pilek,
demam, mencret? Malah aku sendiri dulu pun melakukannya karena nyontek senior.
Apakah manfaatnya lebih besar dibandingkan resikonya? Tentu saja tidak. Biaya
pengobatan membengkak, anak malah gampang sakit dan terpapar obat yang tak
perlu. Belum lagi bahaya besar jelas mengancam seluruh umat manusia: superbug,
resitensi antibiotik! Tapi mengapa semua itu terjadi?
Duuh Tuhan, aku tahu sesungguhnya Engkau tak menyukai sesuatu yang sia-sia dan
tak ada manfaatnya. Namun selama ini aku telah alpa. Sebagai orangtua, bahkan
aku sendiri yang mengaku lulusan fakultas kedokteran ini, telah terlena dan tak
menyadari semuanya. Aku tak akan eling kalau aku tidak menyaksikan sendiri dan
tidak tinggal di negeri kompeni ini. Apalagi dengan masyarakat awam, para
orangtua baru yang memiliki anak-anak kecil itu. Jadi bagaimana mengurai
keruwetan ini seharusnya? Uh! Memikirkannya aku seperti terperosok ke lubang
raksasa hitam. Aku tak tahu, sungguh!
Tapi yang pasti kini aku sadar…telah terjadi kesalahan paradigma pada kebanyakan
kita di Indonesia dalam menghadapi anak sakit. Disini aku sering pulang dari
dokter tanpa membawa obat. Aku ke dokter biasanya ‗hanya‘ untuk konsultasi,
memastikan diagnosa penyakit anakku dan penanganan terbaiknya, serta meyakinkan
diriku bahwa anakku baik-baik saja. Tapi di Indonesia, bukankah paradigma yang
masih kerap dipegang adalah ke dokter = dapat obat? Sehingga tak jarang dokter
malah tidak bisa bertindak rasional karena tuntutan pasien. Aku juga sadar
sistem kesehatan di Indonesia memang masih ruwet. Kebijakan obat nasional belum
berpihak pada rakyat. Perusahaan obat bebas ‗beraksi‘ tanpa ada peraturan dan
hukum yang tegas dari pemerintah. Dokter pun ‗bebas‘ meresepkan obat apa saja
tanpa ngeri mendapat sangsi. Intinya, sistem kesehatan yang ada di Indonesia
saat ini membuat dokter menjadi sulit untuk bersikap rasional.
Lalu dimana ujung pangkal salahnya? Ah rasanya percuma mencari-cari ujung
pangkal salahnya. Menunjuk siapa yang salah pun tak ada gunanya. Tapi kondisi
tersebut jelas tak bisa dibiarkan. Siapa yang harus memulai perubahan?
Pemerintah, dokter, petugas kesehatan, perusahaan obat, tentu semua harus
berubah. Namun, dalam kondisi seperti ini, mengharapkan perubahan kebijakan
pemerintah dalam waktu dekat sungguh seperti pungguk merindukan bulan. Yang
pasti, sebagai pasien kita pun tak bisa tinggal diam. Siapa bilang pasien tak
punya kekuatan untuk merubah sistem kesehatan? Setidaknya, bila pasien
‗bergerak‘, masalah kesehatan di Indonesia, utamanya kejadian pemakaian obat
yang tidak rasional dan kesalahan medis tentu bisa diturunkan.
setelah membaca artikel/atau kutipan tersebut banyak sekali orang tua yg menjadi anti-antibiotik menyalahkan dokter dan berusaha mencari dokter yang RUM (katanya). padahal mereka juga harusnya sadar bagaimana kondisi di negara Indonesia sendiri yg beriklim tropis dan lembab dan dapat membuat bakteri tumbuh lebih subur di bandingkan negara-negara lain terutama Eropa dimana dr.Agnes tinggal.
to be continued...
to be continued...
0 comments:
Post a Comment